Pengalaman Saya di Jepang

Oleh: Octarine Wijaya (1801378360)

 

Jepang, 9 November 2016

Tidak terasa sudah 1 bulan sejak saya dating ke Jepang. Tentunya masih banyak hal yang terasa asing bagi saya. Banyak hal yang sangat berbeda disini jika dibandingkan dengan Indonesia, namun hal-hal yang berbeda itulah yang membuat kehidupan disini menjadi menarik. Seperti halnya, ketika di Indonesia, saya terbiasa kemana-kemana diantarkan namun disini semuanya harus ditempuh sendiri dengan sepeda. Lalu di Indonesia, saya sudah terbiasa hidup dimanjakan selama 20 tahun dimana saya tidak perlu susah payah mencari uang sendiri, mengurus rumah sendiri, menyiapkan makanan sendiri, namun disini semua hal itu harus dapat dilakukan seorang diri tanpa ada orangtua yang membantu. Tapi saya tidak menyesal kesini walaupun harus melakukan segala sesuatu sendiri, karena saya berasa saya bisa jadi lebih mandiri saat saya disini. Lalu yang berbeda lagi adalah suasana kota nya, dimana Jakarta sangatlah ramai dan berisik ssedangkan Wakayama sangatlah sunyi, dimana tidak ada mobil atau motor yang ramai berlalu-lalang sehingga jarang sekali terdengar suara klakson mobil. Lalu disini juga pengendara sepedanya sangat banyak bahkan sampai ada jalan khusus untuk pengendara sepeda dan oleh karena itu juga ada rambu-rambu khusus untuk sepeda. Selain suasana kota, hal lain yang membuat saya cukup takjub adalah adanya ninja di Wakayama Castle. Dimana jika biasanya ninja itu bergerak secara diam-diam, di Wakayama Castle malah ninja itu dipertontonkan untuk umum. Mereka bertugas untuk mengelilingi castle dan memantau situasi sekitar castle layaknya security ketika sedang patrol. Dan yang membuat saya lebih takjub lagi adalah bahwa kita bisa melamar kerja part-time sebagai ninja! Menarik kan? Lalu hal lain yang unik adalah ketika perayaan besar seperti Halloween yang baru saja lewat, mereka sering mengadakan acara-acara perayaannya di tengah jalan raya, yang tentunya itu suatu hal yang mustahil terjadi di Jakarta. Oh hal lain yang menarik adalah wifi portable nya! Dimana disini kita bisa meminjam modem nya bukan membeli nya, ini pertama kalinya saya mendengar ada system seperti itu karena di Jakarta belum pernah sekalipun saya melihat ada yang menggunakan system seperti itu.

Lalu selain budaya atau mengenai kehidupan sehari-hari, ada juga bahasa yang pastinye berbeda 180° dengan bahasa Indonesia, tapi karena di BINUS saya sudah belajar bahasa jepang selama 2 tahun, ketika sampai disini tidaklah terlalu syok/panik. Walaupun masih terbata-bata setidaknya beberapa percakapan-percakapan sehari-hari bisa saya mengerti, lalu intruksi-intruksi lainnya pun masih bisa dimengerti, jika tidak saya mengerti maka saya akan meminta orang yang berbicara kepada saya untuk menggunakan bahasa jepang yang mudah. Namun tetap ada beberapa kalimat yang susah saya mengerti karena hampir mayoritas orang disini berbicara menggunakan kansai-ben, terutama beberapa pekerja yang bekerja di pabrik saya. Mayoritas wanita-wanita jepang yang bekerja disana selalu berbicara dengan kansai-ben yang bagi saya terdengar aneh karena belum terbiasa. Dan karena itulah ketika mereka mengajak saya berbicara, saya sangat sulit menanggapi nya apalagi mereka berbicara dengan nada yang cepat. Contohnya saja akhiran kalimat yang mereka ucapkan selalu diakhiri dengan kata “na”, blablablabla na, dengan nada yang seperti meminta persetujuan padahal bukan. Lalu mereka juga sering mengakhiri kata gomen dengan “yo” yang membuat kata gomen terkesan imut. Namun setelah sekian hari saya mendengar kansai ben, saya sudah mulai terbiasa dengannya, walaupun terkadang masih susah dimengerti apalagi jika mereka berbicara dengan cepat.

Octarine Wijaya