Pemagang Indonesia yang Merantau terhadap Adaptasi Budaya Makan di Jepang

Pada tahun 1990, negara Jepang mengalami krisis moneter yang mengakibatkan beberapa perusahaan mengalami bangkrut, inflasi, dan, beberapa kasus pemecatan karyawan secara sepihak. Beberapa perusahaan yang masih bertahan, mereka merumahkan beberapa karyawan untuk menghemat biaya pengeluaran gaji karyawan. Dari situasi dan kondisi ini, pemerintah Jepang mengambil langkah untuk membuat sistim penerimaan karyawan dengan upah yang dibawah standar Jepang untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan Jepang dengan menerima karyawan dari luar negeri. Pemerintah Jepang mengambil langkah kerjasama dalam pengiriman tenaga kerja dari luar Jepang, salah satunya adalah negara Indonesia. Pada tahun 2016, negara Indonesia masuk dalam peringkat ke-4 yang sebanyak 8.2%, jumlahnya sekitar 18.744 karyawan dari Indonesia bekerja di Jepang.

Jumlah ini diperkirakan akan terus berkembang, karena jumlah tenaga kerja di Jepang semakin berkurang sejak tahun 1990. Faktor dari berkurangnya tenaga kerja ada pada penghapusan sistem kerja seumur hidup atau yang kenal dengan shūshinkoyō (終身雇用), perceraian, berkurangnya angka kelahiran, dan perpecahan keluarga di Jepang. Dengan demikian, berkurangnya jumlah karyawan orang Jepang diperusahaan, pemerintah Jepang mengambil langkah untuk menerima tenaga kerja asing, sehingga menjadi peluang tenaga kerja asing yang merantau ke Jepang.

Pemerintah Jepang akhirnya mencari solusi untuk menjaga industri Jepang tidak terpuruk dengan diadakannya penerimaan tenaga kerja asing yang dibayar lebih rendah dibanding karyawan lokal. Sisitim kerja ini dibagi menjadi 2 periode yang dikenal dengan kenshūsei dan jisshūsei (研修生・実習生), periode kenshūsei yang artinya karyawan pelatihan dan periode jisshūsei adalah karyawan praktek kerja. Periode kenshūsei biasanya selama 9 bulan dan jisshūsei itu selama 2 tahun 2 bulan. Untuk upah yang mereka dapatkan sudah diatur dalam Department Tenaga Kerja di Jepang dan jika dihitung dengan mata uang Indonesia sangat tinggi dibanding pendapatan di Indonesia. Hal ini menjadi “pull factor” atau pemicu pekerja pabrik yang ingin bekerja atau merantau ke Jepang untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Sedangkan kondisi upah pekerja pabrik di Indonesia yang kecil ini menjadi “push factor” untuk mencari penghasilan yang lebih baik.

Orang Indonesia yang merantau ke Jepang untuk memperbaiki perekonomian keluarganya, saat di Jepang mereka mengalami satu permasalahan yang biasa terjadi yakni gegar budaya atau dalam bahasa Inggrisnya adalah culture shock. Permasalahan gegar budaya tidak hanya saat di Jepang, tetapi ketika mereka kembali ke tanah air. Ada beberapa faktor pendukung dari gegar budaya ini terhadap orang Indonesia yang merantau ke Jepang ini adalah :

  1. Kurangnya informasi terhadap budaya Jepang
    1. Bahasa sehari-hari di lapangan kerja dan bahasa yang spesifik
    2. Makanan dan minuman
    3. Adat istiadat di lingkungan hidup
    4. Nilai, norma, dan etika masyarakat Jepang

 

  1. Tidak bisa beradaptasi dengan kondisi alam di Jepang

 

  1. Sulitnya berasimilasi dengan budaya Jepang
    1. Tidak mempelajari dan memahami budaya Jepang
    2. Membandingkan perbedaan kebudayaan

 

Sedangkan gegar budaya juga terjadi saat mereka kembali ke tanah air yang karena :

  1. Sulitnya beradaptasi kembali karena sudah terbiasa dengan situasi yang baik di Jepang.
  2. Disorientasi budaya Jepang dan Indonesia.