Menelusuri Kuchikamisake, Sejarah Awal Terciptanya Sake Jepang

Kita bertumbuh kembang memakan hidangan yang begitu khas dari tempat, atau bahkan negara kita. Bila orang Indonesia mengenal nasi uduk sejak kecil, orang Jepang pun memiliki sake atau minuman alkohol fermentasi dari air beras yang dinikmati saat mereka menginjak usia kedewasaan. Bila kalian pernah pergi ke Jepang dan menikmati segelas sake, pernahkah kalian memikirkan asal usul darimana sake dibuat? Atau sebenarnya ada berapa jenis sake yang ada di Jepang?

Sake menjadi salah satu minuman yang bisa kita nikmati dalam acara apapun, terutama acara sakral dan tradisi turun temurun leluhur orang-orang Jepang. Pembuatan sake zaman dulu tidak semaju saat ini, serta sake zaman dulu disebut dengan kuchikamisake. Dahulu, alat-alat atau teknologi untuk melakukan fermentasi pada makanan dan minuman sangat sukar didapatkan, tentu karena kendala biaya, dan sebagainya. Satu metode pembuatan sake ini adalah dengan mengunyah gabah yang ada, serta mencampurnya dengan air liur di dalam mulut.

Seiring berjalannya waktu, orang-orang menyadari enzim yang dimiliki air liur mereka dipercayai bisa melakukan suatu proses fermentasi juga. Karena ini, orang-orang pun mulai mengunyah gabah selama mungkin sebelum membuangnya bersama air liur mereka ke dalam bak penyimpanan yang terbuat dari kayu. Sesudahnya, gabah yang dikunyah ini didiamkan selama beberapa hari.

Demikian, seiring berjalannya waktu kembali, sake pun menjadi salah satu bagian dari tradisi ritual kepercayaan Shinto di Jepang. Spesifiknya, pembuatan kuchikamisake pun harus dilakukan oleh perempuan cantik yang belum menikah dengan iming-iming untuk mempertahankan suatu rasa khas yang air liur mereka berikan. Memang terdengar aneh, namun kepercayaan ini benar-benar ada zaman dulu.

 

Bagaimana dengan bentuk dan rasanya? Menurut sejarah, kuchikamisake memiliki bentuk dan tekstur yang cukup kental, serta rasa asam dan kecut yang dihasilkan dari fermentasi gabah yang dilakukan dengan air liur. Dulu, kuchikamisake ini pun memiliki peran yaitu sebagai persembahan kepada Dewa atau kami-sama dalam kepercayaan Shinto.

Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, kuchikamisake sudah ditinggalkan cara pembuatannya oleh mayoritas orang. Alasannya berkisar seperti menyinggung masalah kesehatan, teknologi yang sudah ada, serta tradisi ini banyak ditentang oleh kaum perempuan itu tersendiri. Meski begitu, menurut sumber yang tertera, beberapa masyarakat Jepang di kepulauan Okinawa masih mempertahankan tradisi ini, namun tidak untuk di konsumsi. Melainkan untuk keperluan kepercayaan Shinto saja.

Jadi, bagaimana menurut teman-teman mengenai kuchikamisake? Memulai membuat sesuatu memang tak pernah mudah pada awalnya, dan ini terlihat bagaimana sake yang selama ini kemungkinan sudah kita nikmati dibuat. Orang Jepang terdahulu menggunakan kemampuan yang ada untuk tetap bisa menikmati hidup, dan tetap menyembah apa yang ada di kepercayaan mereka. Kuchikamisake memiliki cara yang aneh untuk membuatnya, namun berbagai pelajaran bisa diambil dari prosesnya. Yaitu kesabaran, serta sense inovatif orang Jepang yang kemudian mendongkrak betapa majunya pembuatan sake saat ini.

 

 

Referensi

https://www.vice.com/en_us/article/vvkz8a/why-sake-used-to-be-made-with-the-spit-of-japanese-virgins

https://vinepair.com/wine-blog/sake-used-to-be-made-with-the-saliva-of-virgins/

https://nexs.co.id/kuchikamisake-sejarah-di-balik-terciptanya-sake-jepang/