Fenomena Menhera: Ketika Krisis Identitas Bertemu Tekanan Sosial Jepang

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah menhera—singkatan dari “mental health”—menjadi populer di kalangan remaja Jepang. Istilah ini merujuk pada individu, terutama perempuan muda, yang menunjukkan kerapuhan emosional, ketergantungan dalam relasi, dan ekspresi diri yang ekstrem seperti self-harm atau perilaku posesif. Fenomena ini tidak hanya muncul sebagai kondisi psikologis individu, tetapi juga dapat dibaca sebagai respons sosial terhadap tekanan masyarakat Jepang modern yang semakin menuntut performa, baik di bidang akademik, pekerjaan, maupun dalam membangun citra diri secara digital.

Fenomena menhera menjadi semakin menarik jika dilihat dari perspektif perubahan sosial Jepang. Dari masyarakat agraris yang menekankan kolektivisme dan kedekatan komunitas, Jepang perlahan berubah menjadi masyarakat urban-industrialis yang menekankan individualisme dan nilai kapital. Kontrol sosial yang dahulu berbasis keluarga dan komunitas mulai melemah. Di sisi lain, masyarakat tetap mempertahankan norma-norma sosial yang menekan, seperti harapan untuk menjadi “perempuan ideal” atau “pria tangguh”, sehingga banyak individu yang merasa terjebak dan gagal memenuhi ekspektasi tersebut. Mereka yang tidak sesuai dengan “naskah hidup normal” cenderung terpinggirkan dan kehilangan makna sosial.

Pada saat yang sama, pemerintah Jepang melalui kebijakan Womenomics justru mendorong pemberdayaan perempuan secara top-down, misalnya dengan membuka lebih banyak ruang kerja dan kepemimpinan bagi perempuan. Namun kebijakan ini belum tentu menjangkau realitas psikososial perempuan muda. Banyak yang justru merasa tidak cocok atau kelelahan dengan standar produktivitas yang ditetapkan negara dan masyarakat. Dalam konteks ini, menhera bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan diam terhadap narasi dominan yang menuntut perempuan untuk kuat, cantik, dan berdaya secara ekonomi.

Dengan latar ini, menhera bukan sekadar isu personal atau gangguan mental, tetapi bagian dari kritik budaya terhadap sistem yang tidak menyediakan ruang aman bagi ekspresi emosi, kegagalan, dan ketidaksempurnaan. Ia juga mencerminkan krisis identitas yang dialami generasi muda Jepang ketika habitus lama yang berbasis solidaritas komunitas tidak lagi kompatibel dengan arena sosial yang dikuasai logika kapital dan kompetisi. Bagi mahasiswa yang tertarik pada kajian budaya atau sosiologi Jepang, fenomena ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami kompleksitas relasi antara individu dan masyarakat dalam dunia modern.

 

RMP