Resensi Novel : Catatan Ichiyo
Novel Catatan Ichiyo ditulis oleh penulis wanita bernama Rei Kimura. Ia adalah seorang pengacara yang memiliki ketertarikan dalam bidang menulis. Sebagian karyanya menampilkan kisah yang diangkat dari kejadian nyata, seperti tenggelamnya Kapal Awa Maru, kisah pilot Kamikaze perempuan pada masa Perang Dunia II dan kisah Ichiyo Higuchi seorang sastrawan wanita Jepang. Novel Catatan Ichiyo. Diangkat dari kisah penulis novel wanita bernama Higuchi Ichiyo .
Catatan Ichiyo menggambarkan pergulatan kehidupan penulis wanita paling berpengaruh di Jepang, yang gambarnya diabadikan pada mata uang 5000 yen Jepang. Perjuangannya melawan kemiskinan, perjuangannya melawan dominasi pria dalam dunia kepengarangan, dituangkan Rei Kimura dalam novel ini. Higuchi Ichiyō, nama samaran Natsu, juga disebut Higuchi Natsuko, (lahir 2 Mei 1872, Tokyo — meninggal 23 November 1896, Tokyo), penyair dan novelis, penulis wanita Jepang paling penting pada jamannya. Natsuko memiliki masa kecil yang nyaman sebagai putri seorang pegawai pemerintah tingkat rendah. Setelah kematian ayahnya pada tahun 1889, ia hidup dalam kesulitan dan kemiskinan sampai kematiannya sendiri pada usia 24 tahun.
Ichiyo sedari remaja sudah bercita cita menjadi penulis akan tetapi cita-citanya adalah hal yang tidak lazim pada jaman itu, sehingga ia menjadi olok-olokan kakak laki-lakinya, Sentaro. Sentaro menganggap cita cita Ichiyo menjadi pengarang wanita itu mustahil karena pada masa itu tidak ada perempuan yang ikut bergabung dalam perkumpulan sastra. Pandangan yang menganggap bahwa perempuan tidak layak menjadi pengarang tidak disetujui oleh ayah Ichiyo. Ayah Ichiyo, bernama Noriyoshi melihat bakat menulis Ichiyo dan ia mendidiknya untuk menjadi penulis wanita terkemuka. Melihat cara mendidik yang dilakukan ayah Ichiyo, Furuya, ibu Ichiyo menjadi khawatir, karena masyarakat pada jaman Meiji belum dapat menerima sepenuhnya seorang wanita menjadi penulis:
Namun Furuya sangat khawatir tentang cara Noriyoshi memberi ide ke dalam kepala Natsuko tentang kapasitas dirinya untuk menjadi cendekiawan dan penulis masa depan, melupakan bahwa ia adalah perempuan di dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki dan mimpi muluk sang gadis cilik dengan mudahnya akan luluh lantak menjadi serpihan debu .(Kimura,2002: 51)
“Apa yang kau lakukan Noriyoshi? Kita hidup di Jepang dan kau tahu posisi seorang wanita di sini kan?
“Aku percaya pada Natsuko dan masyarakat pada akhirnya akan mengakui bakatnya yang istimewa dalam kesusastraan dan menerima kenyataan bahwa bakat tersebut berasal dari seorang perempuan.(Kimura,2002: 51)
Menjadi penulis wanita di awal jaman Meiji adalah suatu beban yang berat. Penulis laki laki mengkritik dan mengawasi tanpa ampun. Beberapa penulis wanita bahkan karena putus asa menulis dengan memakai nama samaran pria, namun Ichiyo tetap teguh memegang prinsipnya, ia akan menulis sebagai seorang wanita dan meraih sukses sebagai seorang wanita. Beberapa orang menilainya angkuh , dan ada juga yang menganggapnya aneh dan eksentrik, namun mereka semua diam-diam mengagumi semangat putri Higuchi ini dalam melawan rintangan ketidakadilan gender, kemiskinan, dan tak adanya koneksi kuat untuk menjadi dan bertahan sebagai penulis wanita di era yang keras dan tak bersahabat dengan kaum hawa. Beberapa bahkan iri dan terpesona oleh keberaniannya tampil beda dan berjalan di jalur tak lazim yang tak pernah mereka lalui. Kerja keras Higuchi Ichiyo berbuah manis, seiring diakuinya bakat kepenulisannya:
Para penulis yang mampir ke rumahnya setiap hari adalah nama-nama besar dari kalangan sastra Jaman Meiji dan bahkan para cendekiawan pria paling chauvinistis sekalipun terpaksa mengakui bahwa sang wanita Higuchi ini merupakan kekuatan sastra yang patut diperhitungkan dan mereka tak bisa lagi dengan sombong merendahkannya sebagai seorang wanita yang “bermimpi menjadi penulis” di dunia pria.