Fujoshi sebagai Fans Budaya Populer Jepang
Kelly (2004) pernah menunjukkan bagaimana perkembangan budaya fans terkait dengan praktek konsumsi (dan produksi) fans terhadap budaya populer. Praktek konsumsi (dan produksi) para fans ini pada akhirnya juga membentuk identitas budaya dan komunitas mereka. Jensen (dalam Kelly, 2004:1) mempertanyakan dan kemudian menjelaskan,
“Who are the fans among the viewers, listeners, and readers of today’s mass culture? To many nonfans, especially among the professional and upper middle classes, they are either the “obsessed individuals” or the “hysterical crowd”….They are condescendingly dismissed as incapable of discriminating admiration, prone instead to abject adulation”.
Fans, sebagaimana dipahami oleh Jensen, memiliki konotasi negatif. Julukan seperti “obsessed individual”, “hysterical crowd”, dan “cultural dopes” menggambarkan seorang individu obsesif, bodoh, dan mudah ditipu oleh produk-produk industri budaya. Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran aliran Frankfurt yang menyatakan bahwa konsumen industri budaya adalah mahluk pasif dan penurut terhadap apa saja yang ditawarkan industri budaya. Bahkan, fans dianggap lebih bodoh daripada audiens lainnya yang sudah terkooptasi oleh industri budaya (Storey, 2003).
Tapi apakah demikian adanya? Apakah individu yang memiliki akal budi dengan mudahnya dibodohi oleh produk industri budaya? Kemampuan setiap individu berbeda-beda dalam menerima sesuatu hal yang baru, seperti halnya produk budaya. Memang ada individu yang secara ekstrem menerima produk budaya bulat-bulat, atau malah sebaliknya menolak mentah-mentah. Bagaimanapun tak dapat dinafikan bahwa ada pihak yang memposisikan dirinya di tengah-tengah; yaitu individu yang sedang “bernegosiasi”. Dalam posisi bernegosiasi, sebuah produk industri budaya diterima dan diapropriasi. Selanjutnya, para individu yang melakukan negosiasi menciptakan karya mereka sendiri. Inilah hasil proses apropriasi tersebut. Para fans yang membuat karya secara mandiri, juga dapat dikatakan sedang melakukan negosiasi terhadap produk budaya yang mereka konsumsi sehari-hari. Selain itu, fans bertindak selaku agen dan membentuk fandom sebagai sarana pemaknaan terhadap produk industri budaya tersebut.
Cultural studies, sebagai sebuah strategi pendekatan, memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami siapa fans dan fandom. Menurut Joli Jensen, Lawrence Grossberg, Henry Jenkins (dan beberapa ahli setelahnya), “fans…are those segments of mass culture audiences who most actively select from and engage with the performers, players, products, and productions of commodified culture”. Artinya, fans adalah orang-orang yang secara aktif memilih dan terlibat dengan artis, pemain, produk dan produksi dari budaya komoditas. Jadi, fans bukanlah sekedar orang yang mencari hiburan saja, melainkan juga secara aktif terlibat dengan hal-hal seputar budaya komoditas, misalnya penyanyi, pemain bola, novel, pertunjukan drama, dan sebagainya. Manga, meskipun tak disebutkan dalam kutipan di atas, dapat disertakan karena merupakan produk budaya yang dijajakan pula sebagai komoditas.
John Fiske (dalam Kelly, 2004:1) menambahkan dalam fokus terhadap pengalaman fans bahwa mereka merupakan: “an intensely pleasurable, intensely signifying subculture that both share with and is distict from the experiences of more ‘normal’ audiences”. Menurut Fiske, pengalaman para fans ini sebagai komunitas sangat berbeda dalam intensitas keterhiburannya dan kegiatan memaknai, dibandingkan dengan pengalaman orang ‘normal’ lainnya. Baik Kelly maupun Fiske (Kelly, 2004:1), sama-sama melihat fans dalam konotasi positif, yaitu tidak hanya sebagai cultural dopes atau orang yang ditipu oleh produk komoditas karya para kapitalis, melainkan memiliki kelebihan dibandingkan orang kebanyakan yaitu menciptakan karyanya sendiri.
Selanjutnya, kesepakatan para ahli di atas untuk melihat betapa fans ‘secara aktif’ mengonsumsi produk budaya populer, menjelaskan adopsi dan adaptasi produk-produk budaya pop oleh mereka. Produk-produk ini mereka ciptakan ulang sebagai subjek yang terpengaruh uniknya budaya lokal masing-masing. Sebagaimana di oleh Kelly (2004:1-2), “fans emerge out of mass culture audience in search of intensifed meanings and pleasures. They selectively appropriate from among this mass culture, and creatively rework their selections into a stylized matrix of practices and identities.” Berdasarkan pernyataan Kelly yang disebutkan di atas, fans mengkonsumsi (dan memproduksi) budaya populer untuk mendapatkan makna dan kesenangan lebih dari orang-orang biasa. Demi mendapatkan makna dan kesenangan lebih tersebut, mereka mengapropriasi objek kesenangan mereka secara selektif dari budaya massa, kemudian secara kreatif membentuk kembali pilihan mereka sesuai dengan selera dan keinginannya masing-masing, menghasilkan deretan praktek dan identitas yang khas.
Salah satu contoh fans yang memiliki ciri-ciri fans seperti penjelasan Kelly adalah dibahas oleh Kelly adalah fans budaya populer Jepang, yakni fujoshi. Dengan kata lain, fujoshi yang setara dengan fans mengkonsumsi manga, anime, games, cosplay dan lain-lain secara lebih intens dan detail, sementara mereka juga menciptakan komunitas sosial dan artefak budaya sebagai identitas budayanya pada waktu bersamaan. Sebagaimana disebutkan Kelly (2004:2), they consume mass culture, but in their voracious and determined comsumption, they produce both social communities and cultural artifacts.
Fujoshi atau腐女子, gabungan kanji “腐る” (kusaru berarti busuk) dan “女子” (joushi berarti perempuan bangsawan), yang berarti perempuan busuk. Makna “busuk” ini (Suzuki, Thorn 2004), merujuk pada pikiran perempuan yang merusak tatanan ‘normative heterosexual’, yaitu percintaan antara perempuan cantik dan laki-laki tampan. Sementara dalam dunia腐女子, tokoh utamanya adalah dua laki-laki cantik dan androgini (bishounen) yang saling tertarik satu sama lain.
Fujoshi adalah julukan untuk perempuan Jepang penggemar produk budaya populer Jepang genre BL dan YAOI. Julukan ini muncul tahun 1980-an dilatar belakangi kemunculan manga shounen-ai karangan para artis shoujo manga tahun 1970-an. Ketika itu, para artis pengarang shoujo manga melakukan inovasi menggunakan personafikasi laki-laki cantik dalam karya mereka. Menurut Suzuki (1998), manga para artis shoujo manga tersebut sarat dengan filosofi hidup dan pergulatan psikologis manusia. Hal ini sejatinya berat untuk dikonsumsi anak usia 14 hingga 18 tahun yang biasanya merupakan rentang usia target pembaca shoujo manga. Maka, para gadis remaja pembaca manga jenis ini mulai berfokus pada unsur yang paling mudah mereka cerna yaitu, drama percintaan sesama dua laki-laki cantik.